Setelah mendapat penolakan dari berbagai kalangan, upaya pembabatan hutan di Kepulauan Aru, Maluku, sementara tertunda. Rencana pembukaan kebun tebu oleh PT Menara Group seluas hampir 500 ribu hektar, batal. Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, beralasan, lahan di Kepulauan Aru, tak cocok buat tanaman tebu.
“Setelah survei dan penelitian kawasan, ternyata lahan di Aru tidak cocok ditanami tebu, ” katanya, dikutip dari Ekuatorial di Jakarta pada Jumat (10/4/14).
Menurut dia, kemiringan lahan di Aru menyebabkan kebun tebu tidak layak dan tak menguntungkan secara ekonomi. Rencana penanaman tebu ini terkait upaya pemerintah menekan impor gula nasional yang mencapai 3 juta ton per tahun.
Sebelum ini, Heru Prasetyo, Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) juga Kepala Badan REDD+ mengaku pemerintah kecolongan dengan rencana pembukaan ratusan ribu hektar kebun tebu di Kepulauan Aru itu.
UKP4 membahas isu ‘kecolongan’ ini. Sayangnya, Badan REDD+belum bisa masuk ke sana karena baru fokus di 11 provinsi. Namun, kata Heru, UKP4, lewat sang ketua, Kuntoro Mangkusubroto, langsung menyurati Presiden terkait masalah ini.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional angkat bicara. Dia mengatakan, Menhut harus mempertegas maksud pembatalan itu.
“Apanya yang dibatalkan? Apakah izin konsesi perkebunan tebu atau SK pelepasan kawasan hutan?” katanya kepada Mongabay, Senin (14/4/14).
Dari pengamatan Walhi, di Maluku, sudah keluar keputusan pelepasan kawasan hutan sekitar 1,6 juta hektar. Kemenhut, katanya, harus mempertegas klausul dalam SK pelepasan kawasan hutan itu hanya untuk wilayah kelola rakyat. “Tidak boleh terbit izin konsesi perusahaan.”
Sebab, kata Zenzi, jika tak ada penegasan khusus lahan kelola rakyat, justru keberadaan Kemenhut hanya mesin pencuci hak tanah. “Yang ada, nanti malah keluar izin buat sawit.”
Bahkan, bisa lebih parah lagi, izin tebu dan pelepasan kawasan hutan batal malah terbit IUPHHK-HT bagi perusahaan pulp and paper guna merampas kayu alam Aru. “Jangan sampai itu terjadi.”
AMAN menyambut gembira pembatalan izin perkebunan tebu di Kepulauan Aru ini. Namun, kata Abdon Nababan, Sekjen AMAN, sampai saat ini belum jelas berapa banyak izin pelepasan kawasan hutan yang dibatalkan Menhut. “Juga belum ada kepastian apakah pembatalan ini hanya untuk perkebunan tebu atau komoditas lain seperti sawit,” ujar dia.
Dengan pernyataan Menhut mengenai alasan pembatalan karena tak cocok buat tebu, kata Abdon, berarti hutan alam di Aru masih terancam. “Kemungkinan masuk perkebunan komoditas lain di luar tebu.”
Pulau Aru di Kepulauan Maluku salah satu pulau-pulau kecil di negeri ini. Ia terletak di sisi tenggara Maluku, berbatasan langsung dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini terdiri dari 187 pulau, dengan 89 berpenghuni. Tutupan hutan seluas 730 ribu hektar di Kepulauan Aru setara 12 kali dari luas daratan Singapura.
Sejak, 2007, pulau ini dalam ancaman penguasaan konsorsium PT. Menara Group menaungi 28 anak perusahaan dengan total lahan 484.493 hektar atau tiga perempat dari luas Kepulauan Aru.
Pada 2010, Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi dan rekomendasi sebagai dasar usaha perkebunan tebu Menara Group. Pada 2011, izin diperkuat rekomendasi Karel Albert Ralahalu, Gubernur Maluku kala itu.
Pjs Gubernur Maluku Saut Situmorang kembali menekankan rencana pembukaan kebun tebu itu pada 6 Februari 2014. Kala itu, rapat terbatas antara Menara Group, Lantamal Papua dan perwakilan pemerintah daerah Situmorang menyatakan, Kepulauan Aru hanya hamparan alang-alang. “Investor harus diberi kesempatan mengelola lahan di Aru.”
Izin ini, tak hanya mengancam kerusakan hutan alam beserta lingkungan sekitar, juga wilayah adat sekitar 90 negeri atau desa. Luas daratan yang tersisa termasuk pulau – pulau karang dan bakau yang tak mungkin menjadi pemukiman.
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, guna memuluskan operasi, Menara Group sengaja merekrut tenaga survei dari beberapa desa dan dikawal TNI Angkatan Laut. Masyarakat adat merasa ketakutan.
Pada Oktober 2013, terjadi konflik horizontal antara Negeri atau Desa Marfenfen dan Negeri Feruni, diduga buah provokasi Menara Group.
Penolakan rencana kebun tebu muncul dari banyak pihak. Kampanye penyelamatan Kepulauan Aru, juga gencar dilakukan di media sosial. Salah satu dilakukan penyanyi Glenn Fredly yang menggagas petisi di change.org.
Data terakhir petisi itu menunjukkan, sebanyak 15.048 di atas target 15 ribu. Kampanye juga dilakukan melalui #SaveAru dimobilisasi antara lain Jacky Manuputty dari Komunitas Blogger Maluku.
Pada 11 Oktober 2013, diadakan diskusi SaveAru di Universitas Pattimura diakhiri penetapan Koalisi SaveAru. Dalam pernyataan sikap koalisi itu, mendesak perlindungan negara terhadap segala bentuk kerusakan dan pengrusakan alam, lingkungan, dan manusia di Kepulauan Aru.
Rencana penggunaan tanah rakyat nyaris 500 ribu hektar dari total 643 ribu hektar ini menyebabkan alam, lingkungan dan manusia terancam.
Koalisi ini menolak eksploitasi tanah masyarakat Aru oleh Menara Group atau investor lain. “Kami mendesak pemerintah meninjau kembali atau membatalkan dan mencabut seluruh perizinan,” demikian bunyi pernyataan itu.
Koalisi ini terdiri dari Universitas Pattimura Ambon, Dewan Kehutanan Nasional Maluku, AMAN Maluku, Pecinta Alam Maluku, dan Komunitas Blogger Maluku. Lalu, DPD KNPI Maluku, Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku, Badan Penelitian dan Pengembangan Gereja Protestan Maluku dan Komunitas Ambon Bergerak SaveAru.
0 komentar:
Posting Komentar